Langsung ke konten utama

METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH DAN SAMPAH NUKLIR DI INDONESIA


A. BEBERAPA METODELOGI PENGELOLAAN SAMPAH KOMUNAL

1. METODE OPEN DUMPING (LAHAN URUG TERBUKA)
Sistem open dumping, yakni pembuangan sampah di lahan tanah lapang tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Seperti dikutip dari data KLH, sebagian besar TPA di Indonesia saat ini masih menggunakan sistem open dumping, padahal sistem ini sangat tidak ramah lingkungan dan tidak efektif menangani volume sampah yang terus menggunung dari hari ke hari.
Resistensi sosial terhadap keberadaan TPA jenis ini juga terus mengalir dari berbagai tempat, penduduk sekitar TPA umumnya tidak setuju ada TPA open dumping di dekat rumah mereka, karena bau serta penyakit dari gunung-gunung sampah itu sangatlah mengganggu. Open dumping merupakan jenis pembuangan sampah akhir yang tidak saniter karena pada sampah basah dapat menjadi media yang baik untuk lalat dan tikus dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap serta tidak menimbulkan pemandangan yang tidak sedap. Jenis pembuangan sampah akhir dengan open dumping dapat menjadi media penularan penyakit sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan. Oleh karena itu penanganan sampah yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan seperti open dumping akan meningkatkan populasi lalat sehingga kemungkinan penyakit diare akan meningkat.
Open dumping bukan merupakan cara pemusnahan yang baik. Walaupun secara teknis pelaksanaan mudah namun kemungkinan dampak lingkungan serta tidak dapat digunakannya kembali lahan dalam waktu yang lama menyebabkan metode ini diabaikan untuk diterapkan.

2. METODE CONTROLLED LANDFILL (LAHAN URUG TERKENDALI)
Controlled landfill merupakan perbaikan atau peningkatan dari system open dumping. Perbaikan atau peningkatan ini meliputi adanya kegiatan penutupan sampah dengan lapisan tanah, fasilitas drainase serta fasilitas pengumpulan dan pengolahan leachete. Penutupan sampah dengan tanah yaitu: tanah penutup antara ( pada periode-periode tertentu) serta tanah penutp akhir (setelah kapasitas TPA penuh). Dengan aplikasi system contolled landfill diharapkan agar dampak negative terhadap lingkungan dapat diperkecil dibandingkan dengan dampak dari system open dumping. Namun demikian, untuk lebih menjamin sanitasi lingkungan, dikembangkan metode lahan urug sanitaser. kontrol landfiil hanya bisa menangkap gas saja namun tidak bisa diolah menjadi energi listrik
3. METODE SANITARY LANDFILL
Metode ini dilakukan dengan cara menimbun kemudian diratakan, dipadatkan kemudian diberi cover tanah pada atasnya sebagai laipsan penutup. Hal ini dilakukan sacara berlapis-lapis sesuai dengan perencanaannya. Pelapisan sampah dengan menggunakan tanah setiap hari pada akhir operasi.
Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping. Baru sedikit kota yang telah menerapkan sistem sanitary landfill.
Tempat pembuangan akhir (TPA) yang direkomendasikan oleh para ahli dengan menggunakan sistem sanitary landfill dapat dilengkapi dengan sarana pengomposan dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku daur ulang. Sisa sampah yang tidak dapat didaur ulang ataupun dibuat menjadi kompos kemudian dibakar dan disimpan dalam kolam sanitary landfill. Proses ini dapat dinamakan Instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran tersebut bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA.
Perbedaan sanitary dan kontrol landfill terletak pada pemanfaatan gas yang dihasilkan.Sistem sanitary landfill lebih lengkap karena selain mendapat manfaat gas juga bisa diolah menjadi tenaga listrik. Sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat.

Tabel  Sistem Pembuangan Akhir di Indonesia
No
Kota
Sistem Pengolahan
Jenis Kota
1
Medan
Open dumping
Metropolitan
2
Palembang
Open dumping
Metropolitan
3
Jakarta
Controlled landfill
Metropolitan
4
Bandung
Controlled landfill
Metropolitan
5
Semarang
Controlled landfill
Metropolitan
6
Surabaya
Controlled landfill
Metropolitan
7
Ujung Pandang
Open dumping
Metropolitan
8
Padang
Controlled landfill
Besar
9
Bandar Lampung
Open dumping
Besar
10
Bogor
Open dumping
Besar
11
Surakarta
Open dumping
Besar
12
 Malang
Controlled landfill
Besar
13
Langsa
Controlled landfill
Sedang
14
Pematang Siantar
Open dumping
Sedang
15
Tebing Tinggi
Open dumping
Sedang
16
Jambi
Open dumping
Sedang
17
Batam
Open dumping
Sedang
18
Pangkal Pinang
Open dumping
Sedang
19
Purwakarta
Open dumping
Sedang
20
Cianjur
Open dumping
Sedang
21
Garut
Open dumping
Sedang
22
Magelang
Sanitary landfill
Sedang
23
Yogyakarta
Controlled landfill
Sedang
24
Madiun
Open dumping
Sedang
25
Banyuwangi
Open dumping
Sedang
26
Palangkaraya
Open dumping
Sedang
27
Pontianak
Controlled landfill
Sedang
28
Balikpapan
Controlled landfill
Sedang
29
Banjarmasin
Controlled landfill
Sedang
30
Pare-pare
Open dumping
Sedang
31
Bitung
Open dumping
Sedang
32
Palu
Open dumping
Sedang
33
Denpasar
Controlled landfill
Sedang
34
Ambon
Open dumping
Sedang
35
Kupang
Open dumping
Sedang
36
Mataram
Open dumping
Sedang
37
Batu Sangkar
Open dumping
Kecil
38
Bandar Jaya
Open dumping
Kecil
39
Pendeglang
Open dumping
Kecil
40
Sukoharjo
Open dumping
Kecil
41
Pacitan
Controlled landfill
Kecil
42
Kandangan
Open dumping
Kecil
43
Bantaeng
Open dumping
Kecil
44
Watansoppeng
Open dumping
Kecil
45
Singaraja
Open dumping
Kecil
46
Manokwari
Open dumping
Kecil



B. SAMPAH NUKLIR                          RADIO AKTIF DI INDONESIA
Limbah radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung atau terkontaminasi radionuklida pada konsentrasi atau aktivitas yang melebihi batas yang diijinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan didalam peraturan perundang-undangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion
1)    PENGAWASAN PEMANFAATAN IPTEK NUKLIR
            Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga memperhatikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya.
            Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini dilakukan untuk memenuhi Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dilakukan studi yang menyeluruh antara komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai jenis kegiatan pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai tahap dekomisioning. Hasil studi Amdal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
2)    PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF
            Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset, pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian, kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif juga ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/ fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal).
*       Minimisasi Limbah
            Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan sebelumnya.
Image
Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.

*       Pengelompokan Limbah Radioaktif
            Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara.                         Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah padat (terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair (resin). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3). 
            Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri, Rumah Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah sesuai dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih lanjut.
*      Teknologi Pengolahan Limbah
            Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.
*      Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang
            Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang (LTS) telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah disesuaikan dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara langsung selain akan memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir.
            P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah mapan dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan disimpan di fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta kemungkinan limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.
*      Limbah tingkat tinggi
            Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir (BBN) bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah. Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya. Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan berencana untuk mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep repository).
            BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.
*      Pembuangan Limbah Radioaktif
            Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan" (PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero release.
*      Pembuangan efluen
            Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan kandungan gas/ partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem pembersih udara yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung ke badan-air hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus mempunyai konsentrasi di bawah BME.
            BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif yang dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah dihitung dengan metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah diterapkan semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987 Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional maupun internasional.
*      Disposal limbah
            Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan strategi PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas.
*      Lokasi disposal
            Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktor-faktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi, geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi, meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah penerimaan oleh masyarakat.
            P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal.
*      Rancang-bangun
Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan khusus dan pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif menahan radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah, struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor teknis tersebut.
            Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-negara industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered near-surface), 18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam formasi geologi (deep disposal).
*      Pengkajian keselamatan
            Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan mengevaluasi unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun untuk kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode waktu yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara konsisten, walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini dapat diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi. Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, seperti kontek perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan, kriteria yang digunakan, dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan analisis dan menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang direkomendasikan.
            Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan infrastruktur (organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta disiapkan secara berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok Penyimpanan Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal limbah radioaktif.











REFERENSI

Artikel yang dimuat pada 'Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 Desember 2003 (ISSN:1410-9565). Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Bidang Radioekologi Kelautan PTLR - BATAN)
Sampah ternyata bukan sampah. Penulis : Samadi, S.Pd, M.Si
http://www.blueenvironmental.com/landfill.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI BELAJAR

I Pendahuluan 1.1 LATAR BELAKANG                         Dalam setiap studi pendidikan dan penerapannya dilapangan, banyak ditemukan kendala dan berbagai macam permasalahan. Ditambah lagi pendidikan di indonesia menuntut peserta didik harus menguasai standar kopetensi yang telah ada. Banyak diantara mereka kesulitan dalam mencapai standar tersebut. Maka dari itu, dalam makala ini kami mencoba menelaah dan menganalisis pemasalahan permasalahan yang menjadi kendala bagi peserta didik, terutama kondisi belajar. Pemilihan tema ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi belajar peserta didik, bagaimana menyelesaikan permasalahan yang timbul, dan memberikan solusi yang tepat dalam penerapannya di dunia nyata. Pemilihan tema ini juga bertujuan untuk menyelesaikan kewajiban kami untuk membuat makalah ini dalam mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran. 1.2 TUJUAN                         Pemilihan tema ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi belajar peserta didik, bagaimana

SUMBER BELAJAR

   BAB I PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematik yang meliputi banyak komponen. Komponen tersebut antara lain adalah tujuan, bahan pelajaran, metode, alat dan sumber belajar serta evaluasi. Sumber belajar merupakan suatu unsur yang memiliki peranan penting dalam menentukan proses belajar agar pembelajaran menjadi efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan. Menurut Rohani :   Sebuah kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan efisien dalam usaha pencapaian tujuan instruksional jika melibatkan komponen proses belajar secara terencana, sebab sumber belajar sebagai komponen penting dan sangat besar manfaatnya. Sumber belajar yang beraneka ragam disekitar kehidupan peserta didik, baik yang didesain maupun non desain belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembelajaran. Sebagian besar guru kecenderugan dalam pembelajaran memanfaatkan buku teks dan guru sebagai sumber belajar utama. Keadaan ini diperparah p

penilaian alternatif

     BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang             Kegiatan penilaian sangat bersifat kuantitatif. Dan lebih banyak diarahkan pada upaya memeriksa perbedaan-perbedaan individual. Dalam bidang pendidikan, berbagai alat uji/ tes diarahkan pula untuk mengukur perbedaan individual antara siswa yang satu dan siswa-siswa yang lain dalam setiap bidang studi.             Dilihat dari prosedur pengembangan, penilaian selalu diorientasikan pada upaya mengembangkan alat uji yang objektif dan baku. Tanpa adanya standar yang digunakan sebagai   norma, penilaian kurang berarti. Untuk menentukan norma yang berlaku bagi setiap alat uji yang sedang dikembangkan, alat uji tersebut perlu dicobakan pada sejumlah sampel tertentu dalam situasi yang terkontrol.             Penilaian itu bukan pengukuran atau prediksi, melainkan interpretasi atau judgment. Interpretasi selalu menunjuk adanya perbandingan. Penilaian tidak dimaksudkan untuk menghasilkan hukuman yang bersifat umu